Kamis, 03 November 2011

Psikologi Lintas Budaya Madura


-           Arum Pandan Sari (14509887)



-           Bastian Gotama



-           Okky Alfias (12509425)



-           Putri susan



-           Rosa Eva Vina
-           Vina Lyliana
  



KATA PENGANTAR
            Puji syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, karna atas berkah rahmatnyalah makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, selain itu pula tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbingkami dalam matakuliah psikologi lintas budaya karna telah membantu kami dalam menyelesaikannya. Serta trimakasih pula untuk teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku, kini sudah hampir punah. Pada umumnya masyarakat merasa gengsi dan malu apabila masih mempertahankan dan menggunakan budaya lokal atau budaya daerah. Kebanyakan masyarakat memilih untuk menampilkan dan menggunakan kesenian dan budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai dengan kepribadian bangsanya. Mereka lebih memilih dan berpindah ke budaya asing yang belum tetntu sesuai dengan keperibadian bangsa bahkan masyarakat lebih merasa bangga terhadap budaya asing daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri..
Tanpa mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga kelestarian dan keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Pada umumnya mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya kebudayaan merupakan jati diri bangsa yang mencerminkan segala aspek kehidupan yang berada didalalmnya.
Besar harapan saya, semoga dengan dibuatnya makalah yang berjudul kebudayaan suku madura yang didalamnya membahas tentang kebudayaan yang berasal dari daerah Jawa Timur ini menjadi salah satu sarana agar masyarakat menyadari betapa berharganya sebuah kebudayaan bagi suatu bangsa, yang ahirnya akan membuat masyarakat menjadi merasa bangga terhadap budaya daerahnya sendiri.


Jakarta, November 2011


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita pungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruk terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal.
Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.

B.        Maksud dan Tujuan
Karena menjaga, memelihara dan melestarikan kebubayaan merupakan kewajiban setiap individu, maka dalam realisasinya saya mencoba menyusun makalah yang berjudul Kebudayaan Suku Sunda yang didalamnya mengulas tentang berbagai kebudayaan tradisional Jawa Timur/madura. Penyusunan makalan yang berjudul Budaya Suku sunda ini bertujuan agar pembaca mengetahui bahwa suku sunda merupakan suku yang kaya akan budaya serta menyadari bahwa menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah merupakan kewajiban dari setiap orang.

C.        Metode Penelitian
1.     Metode Observasi
2.     MetodeDokumentasi
BAB II
PEMBAHASAN

A.          Sejarah Madura
Secara politis, Madura selama berabad-abad telah menjadi subordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti KediriSinghasari, dan MajapahitDi antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa sepertiDemak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur lautJawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa.
Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara ,serta sebagian Malang .
Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta,Tanggerang,Depok,Bogor,Bekasi,dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang, terutama besi tua dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan buruh,serta beberapa ada yang berhasil menjadi,Tekonokrat,Biokrat,Mentri atau Pangkat tinggi di dunia militer.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa angok pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura.
Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur.
Salah satu penyebab mobilitas orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram.
“…tetapi dalam kondisi tanah pertanian yang miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang mendatangkan penghasilan pokok bagi orang-orang kebanyakan, bergabung dalam barisan berarti pula: pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial…” (Kuntowijoyo 2002: 145-150).

Karena perubahan struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam bentuk kerajinan lukisan dan patung.
Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi Hindu. Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah.
Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama. Hukum yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris feodal. Mazhab Syafii ini tidak terlalu memperdulikan seni. Bagi mereka seni itu hanya untuk hiburan saja, bukan sebagai kontemplasi. Kalau di Jawa bagian tengah, orang berkesenian sebagai sarana kontemplasi, yang sifatnya sangat meditatif. Kebanyakan kesenian Jawa bagian timur berfungsi sebagai media hiburan. Jadi di Madura hanya ada kesenian rakyat yang bersifat populis. Pada tingkatan ini agama tidak campur tangan, agama hanya memberikan larangan, misalnya, karena perempuan tidak boleh tampil di depan umum maka kesenian-kesenian ini pada umumnya ditampilkan oleh laki-laki. Namun sekarang sudah berubah, inilah yang kemudian menimbulkan masalah gender.
Kenyataan bahwa seorang kiai (ulama) mampu memobilisasi pengikutnya, menunjukkan bahwa kedudukan kiai bertambah penting menjelang abad ke-20. Peran kiai mengalami evolusi, dari pemimpin ritual keagamaan semata-mata, kemudian menjadi pemimpin masyarakat ke pemimpin politik (Kuntowijoyo, 2002). Hal ini sangat berbeda dengan tradisi kepemimpinan di Mataram, di Jawa bagian timur pada abad ke-17 tidak ada keraton yang mendominasi, maka pada saat itu ketundukan orang Madura adalah pada kiai atau ulama. Sesudah direbutnya Madura, baik barat maupun timur, banyak sekali tawanan perang pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari pulau Madura ke Gersik dan Jawa bagian tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram memerintahkan dan melaksanakan pemindahan secara besar-besaran kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke pusat kerajaan mereka. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh para raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa (De Graaf 2003: hal. 195-199).
Di beberapa daerah di Madura bagian utara, dominasi kiai pada kesenian tradisional pada umumnya kurang kuat, dan ada sisa-sisa kekuatan keraton yang membatasi pengaruh ulama. Sejak lama keraton didominasi oleh kekuatan gabungan antara santri dan kaum feodal. Suami dari pemimpin saat itu rata-rata adalah kiai, jadi di Madura tidak ada permasalahan dengan santri dan abangan seperti di Jawa.
Di Madura itu sudah lama tidak ada feodalisme. Mereka mengenal pemimpin administratif seperti bupati yang merupakan warisan kolonial Belanda. Di Madura tidak ada yang bisa dieksploitasi oleh Belanda, karena untuk itu sebagian besar penduduk Madura dijadikan pekerja perkebunan. Kesenian tradisional di Madura hidupnya di desa, bukan di kota. Ludruk adalah salah satu kesenian rakyat yang hidup di desa. Kesenian Madura mengalami puncaknya di bidang seni rupa dan seni sastra, misalnya kaligrafi atau seni hias.
Meski pernah mengalami puncak di bidang seni rupa dan sastra, saat ini sastra Madura itu sudah terbunuh oleh budaya modern. Sastra Madura mengalami puncak pencapaian tertinggi ketika keraton Sumenep belum menjadi keresidenan. Namun kemudian mengalami kemunduran. Meskipun demikian orang Madura tidak merasa kehilangan karena bagi mereka yang disebut sebagai budaya Madura itu adalah gabungan antara budaya Jawa dan Melayu. Jadi untuk mendeteksi kebudayaan Madura, tinggal melihat kebudayaan Jawa dan Melayu saja, inilah keuntungan orang Madura.

B.          Bahasa
Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 14 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Masalembo, hingga Pulau Kalimantan. Bahasa Kangean, walau serumpun, dianggap bahasa tersendiri.
Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan Barat, sedangkan di Kalimantan Tengah mereka berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka.
60 persen kosa-kata bahasa Madura berasal dari bahasa Melayu. Sementara tata bahasanya serupa dengan bahasa Jawa. Meski begitu, dibandingkan dengan bahasa Using, bahasa Madura lebih jelas tatanannya. Sampai pertengahan abad ke-18, sastra Madura masih memakai bahasa Jawa madya. Barulah kemudian pada akhir abad ke-18 menggunakan bahasa Madura tinggi, dan itupun tidak begitu berbeda dengan bahasa Jawa. Bedanya hanya cara mengucapkan saja. Bangsawan-bangsawan di sana rata-rata mengetahui bahasa Jawa.
Bukti-bukti otentik mengenai sejak kapan sastra Madura berkembang masih belum ditemukan. Sebuah bukti yang terdapat di Kebon Agung, sebelah Barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan Singasari di Madura sudah dikenal tulis menulis. Inskripsi menunjukkan angka tahun 1280 atau tahun saka 1212, dan tahun 1438 atau tahun saka 1360 (Zawawi Imron dalam Huub de Jonge (ed.), 1989: 181-205). Ada beberapa jenis bentuk sastra Madura, antara lain: Dungngeng, berisi tentang budi pekerti, cerita fabel, dan legenda serta cerita kepahlawanan seperti, Joko Tole, dan Trunojoyo.Lok-Alok, sebuah jenis sastra lisan yang terdapat pada pacuan sapi atau karapan sapi. Kemudian sastra lisan berbentuk puisi mainan anak-anak, yang berupa kumpulan kata-kata yang bisa ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang cukup dominan, mensaratkan lompatan-lompatan imajinasi. Selain itu sastra lisan Madura juga tertuang di dalam puisi ritual, yang digunakan sebagai sarana tolak bala, biasanya terdapat di desa-desa terpencil atau tepi pantai. Sampai pada tembang, pengaruh kesusasteraan Jawa pada awal abad ke-20 terlihat sangat kental.Tembang biasanya berisi tentang kisah atau hikayat zaman dahulu.

1.           Kosakata
Bahasa Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia.
Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh Bahasa Jawa,MelayuBugisTionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal yang berbeda.
Contoh :
·        bhila (huruf "a" dibaca [e] (info)) sama dengan bila = kapan
·        oreng = orang
·        tadha' = tidak ada (hampir sama dengan kata tadak dalam Melayu Pontianak)
·        dhimma (baca: dimmah) = mana? (hampir serupa dengandima di Minangkabau)
·        tanya = sama dengan tanya
·        cakalan = tongkol (hampir mirip dengan kata Bugis : cakalangtapi tidak sengau)
·        onggu = sungguh, benar (dari kata sungguh)
·        Kamma (baca: kammah mirip dengan kata kama di Minangkabau)= kemana?
2.           Sistem Pengucapan
Bahasa Madura mempunyai sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalan tadi.
Bahasa Madura mempunyai lafal sentak dan ditekan terutama pada konsonan [b][d][j][g]jhdh dan bh atau pada konsonan rangkap seperti jjdd dan bb . Namun demikian penekanan ini sering terjadi pada suku kata bagian tengah.Sedangkan untuk sistem vokal, Bahasa Madura mengenal vokal[a][i][u][e][ə] dan [o].
3.           Dialek-Dialek Bahasa Madura
Bahasa Madura juga mempunyai dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah tuturnya. Di Pulau Madura sendiri pada galibnya terdapat beberapa dialek seperti:
·      Dialek Bangkalan
·      Dialek Sampang
·      Dialek Pamekasan
·      Dialek Sumenep, dan
·      Dialek Kangean
Dialek yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura. Untuk di pulau Jawa, dialek-dialek ini seringkali bercampur dengan Bahasa Jawa sehingga kerap mereka lebih suka dipanggil sebagai Pendalungan daripada sebagai Madura. Masyarakat di Pulau Jawa, terkecuali daerahSitubondoBondowoso, dan bagian timur Probolinggo umumnya menguasai Bahasa Jawa selain Madura.
Contoh pada kasus kata ganti "kamu":
·     kata be'en umum digunakan di Madura. Namun kata be'nadipakai di Sumenep.
·     sedangkan kata kakeh untuk kamu lazim dipakai di Bangkalan bagian timur dan Sampang.
·     Heddeh dan Seddeh dipakai di daerah pedesaan Bangkalan.
Khusus Dialek Kangean, dialek ini merupakan sempalan dari Bahasa Madura yang karena berbedanya hingga kerap dianggap bukan bagian Bahasa Madura, khususnya oleh masyarakat Madura daratan.
Contoh:
·      akoh: saya (sengko' dalam bahasa Madura daratan)
·      kaoh: kamu (be'en atau be'na dalam bahasa Madura daratan)
·      berrA' : barat (berre' dengan e schwa dalam bahasa Madura daratan)
·      morrAh: murah (modhe dalam bahasa Madura daratan)

4.           Bawean
Bahasa Bawean ditengarai sebagai kreolisasi bahasa Madura, karena kata-kata dasarnya yang berasal dari bahasa ini, namun bercampur aduk dengan kata-kata Melayu dan Inggrisserta bahasa Jawa karena banyaknya orang Bawean yang bekerja atau bermigrasi ke Malaysia dan Singapura, Bahasa Bawean memiliki ragam dialek bahasa biasanya setiap kawasan atau kampung mempunyai dialek bahasa sendiri seperti Bahasa Bawean Dialek Daun, Dialek Kumalasa, Dialek Pudakit dan juga Dialek Diponggo. Bahasa ini dituturkan di Pulau Bawean, Gresik, Malaysia, dan Singapura. Di dua tempat terakhir ini bahasa Bawean dikenal sebagai Boyanese. Intonasi orang Bawean mudah dikenali di kalangan penutur bahasa Madura. Perbedaan kedua bahasa dapat diibaratkan dengan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang serupa tapi tak sama meskipun masing-masing dapat memahami maksudnya. Contoh-contoh:
·          eson atau ehon = aku (sengkok/engkok dalam bahasa Madura)
·          kalaaken = ambilkan (kalaagghi dalam bahasa Madura)
·         trimakasih = terimakasih (salengkong / sakalangkong / kalangkong dalam Bahasa Madura)
·          adek = depan (adek artinya dalam bahasa Madura


C.          Ekonomi
Secara keseluruhan, Madura termasuk salah satu daerah miskin di provinsi Jawa Timur[2]. Tidak seperti Pulau Jawa, tanah di Madura kurang cukup subur untuk dijadikan tempat pertanian. Kesempatan ekonomi lain yang terbatas telah mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Faktor-faktor ini telah mengakibatkan emigrasi jangka panjang dari Madura sehingga saat ini banyak masyarakat suku Maduratidak tinggal di Madura. Penduduk Madura termasuk peserta programtransmigrasi terbanyak.
Pertanian subsisten (skala kecil untuk bertahan hidup) merupakan kegiatan ekonomi utama. Jagung dan singkong merupakan tanaman budi daya utama dalam pertanian subsisten di Madura, tersebar di banyak lahan kecil. Ternak sapi juga merupakan bagian penting ekonomi pertanian di pulau ini dan memberikan pemasukan tambahan bagi keluarga petani selain penting untuk kegiatan karapan sapi. Perikanan skala kecil juga penting dalam ekonomi subsisten di sana.
Tanaman budi daya yang paling komersial di Madura ialahtembakau. Tanah di pulau ini membantu menjadikan Madura sebagai produsen penting tembakau dan cengkeh bagi industri kretek domestik. Sejak zaman kolonial Belanda, Madura juga telah menjadi penghasil dan pengekspor utama garam.
Bangkalan yang terletak di ujung barat Madura telah mengalami industrialisasi sejak tahun 1980-an. Daerah ini mudah dijangkau dariSurabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, dan dengan demikian berperan menjadi daerah suburban bagi para penglaju ke Surabaya, dan sebagai lokasi industri dan layanan yang diperlukan dekat dengan Surabaya. Jembatan Suramadu yang sudah beroperasi sejak 10 Juni2009, diharapkan meningkatkan interaksi daerah Bangkalan dengan ekonomi regional.

D.         kebudayaan Suku Madura
1.      Musik patrol
Seni musik patrol merupakan jenis seni musik yang instrumennya terbuat dari bambu. Secara historis seni ini terinspirasi oleh kegiatan jaga malam yang dilakukan para peronda. Iramanya sangat dinamik, dan jenis musik ini dipakai untuk mengiringi lagu-lagu tradisional Madura, Jawa, atau Banyuwangen.Dalam perkembangannya, para seniman musik patrol banyak melakukan modifikasi, baik pada perangkat instrumen maupun lagu-lagu yang dipilihnya. Bahkan, pada seni patrol jenis hiburan, lagu-lagu pop yang sedang favorit pun dibawakan. Meskipun telah dilakukan modifikasi dengan menambahkan alat musik modern untuk melengkapi iramanya, instrumen utamanya tetap menggunakan bamboo sebagai bahan dasarnya. Instrumen-instrument tersebut antara lain a) dhung-dhung, bambu besar sepanjang + 80 cm dengan alat penabuhnya, berfungsi sebagai kendang; b) gong, dua buah bambu terikat dalam satu bentuk insrumen, ditabuh dengan alat penabuh yang dililit karet, berfungsi sebagai gong besar dan gong kecil; c)krucilan, perangkat angklung, berfungsi sebagai pengiring lagu; d) seruling; dan e) kempul, bambu yang berdiameter relatif kecil dan dipukul dengan penabuh yang juga dari bambu, berfungsi sebagai pengiring gong.

2.      Lengger
Lengger adalah tarian rakyat yang mirip dengan tandhak atautledhek yang dikenal dalam wilayah kebudayaan Jawa. Meskipun pada awalnya berupa tarian ritual yang terkait dengan mitos Dewi Kesuburan/Dewi Padi, kini tarian tersebut menjadi tari pergaulan yang bersifat menghibur. Lagu-lagu yang dibawakan penarinya adalah lagu-lagu tradisional berbahasa Madura. Pewaris aktif dan pasif kesenian lengger makin hari makin sedikit.

3.      Can Macanan Kadduk
Can macanan kadduk adalah tarian rakyat Jember yang merupakan produk masyarakat agraris pandalungan. Tarian ini melambangkan keperkasaan harimau atau macan yang diposisikan sebagai hewan yang sangat ditakuti. Salah satu pewaris aktif mengatakan, bahwa pada awalnya tarian ini digunakan untuk menakut-nakuti atau mengusir penjahat yang akan mengganggu keamanan kampung.

4.      Singo ulung
Singo ulung adalah tarian rakyat dari Kabupaten Bondowoso. Dalam legendanya, Singo Ulung merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang bernama Juk Seng, bangsawan dari Blambangan yang suka mengembara. Dalam pengembaraannya ke arah barat, secara tidak sengaja memasuki hutan yang dipenuhi tumbuhan belimbing. Kedatangan Singo Ulung ke hutan belantara menarik perhatian Jasiman, seorang tokoh yang hidup di wilayah hutan tersebut. Jasiman terpanggil untuk menjajal kesaktian Singo Ulung. Keduanya terlibat pertarungan dan berusaha saling mengalahkan. Karena sama-sama sakti, pertarungan berjalan dengan seimbang. Akhirnya Juk Seng dan Jasiman bersahabat.

5.      Kentrung
Seni kentrung adalah pelantunan pantun Madura yang diiringi bunyi rebana atau terbang. Seni ini masih banyak dijumpai di kantong-kantong kebudayaan Madura di wilayah tapal kuda.Tokoh kentrung yang terkenal bernama Nur Subakti yang telah menjadi seniman kentrung sejak tahun 1945, diawali dari kesukaannya berpantun. Ia bermain kentrung karena merasa sulit mencari pekerjaan yang sesuai dengan kecakapannya. Semula ia mencoba mengamen, menjajakan kemahirannya dalam seni kidung pantun (paparegan Madura) dari kampung ke kampung dengan satu terbang yang dimilikinya. Rupanya keterampilan berpantun dengan terbang  tersebut menjadi sendi mata pencaharian yang mapan sampai tahun 1956. Berkat jasanya, seni kentrung berkembang hingga saat ini.

6.      Janger
Janger adalah sandiwara rakyat yang pementasannya mirip dengan ketoprak yang terdapat dalam wilayah kebudayaan Jawa. Janger berpentas hingga pagi hari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura.

7.      Jaran kencak
Jaran kencak atau kuda kencak adalah kuda yang dilatih menari. Selain menari, kuda ini juga mengenakan aksesoris warna-warni. Hewan-hewan yang pandai menari ini biasa ditanggap untuk memeriahkan hajatan atau upacara-upacara tertentu.
Di wilayah ini juga berkembang produk-produk kesenian yang bernuansa Islam seperti hadrah, samroh, dan japin. Ketiga bentuk kesenian ini tumbuh dengan subur di kantong-kantong Islam kultural, terutama di pesantren-pesantren. Karena keterbukaan dan sifat akomodatifnya, di di Jember, salah satu kantong budaya pandalungan muncul festival mode global yang dikenal denganJember Fashion Carnaval (JFC). Gaung JFC cukup luas, bahkan mendunia. Saat JFC digelar, beratus-ratus model menapaki catwalk jalanan sepanjang 3,6 kilometer mulai dari pelataran kantor Pemkab Jember hingga Gelanggang Olah Raga Jember.


















BAB III
PENUTUP
Masyarakat pandalungan di wilayah tapal kuda adalah masyarakat hibrida yang merupakan perpaduan dari 2 budaya dominan, yakni budaya Jawa dan budaya Madura. Orang pandalungan sangat adaptif dan akomodatif sehingga perubahanperubahan besar yang melanda dunia ditangkap dengan mudah dan bahkan ditiru. Meski pengaruh Islam sangat kuat, orang pandalungan sangat terbuka dan tidak alergi terhadap selera global, terutama yang terkait dengan gelombang Food, Fashion, and Fun. Ini terbukti dari munculnya fenomena Jember Fashion Carnaval. Proses ini akan terus berlanjut. Sampai saat ini orang pandalungan sedang bergulat antara mencari identitas dan menerima perubahan.